Selingkuh, Ayah Tembak Mati Anaknya Dihadapan Ratusan Penduduk Desa

Di depan sekitar 300 pasang mata penduduk desa, seorang ayah yang menggenggam senjata AK-47 memberondong anak perempuannya sendiri yang sebelumnya disuruh membelakanginya.

Penembakan itu menurut penduduk yang menyaksikan, dilakukan dari jarak sekitar lima meter, sebagai hukuman perselingkuhan sang anak dengan sepupunya sendiri.

Halima, nama perempuan itu, adalah ibu muda beranak dua, ditembak di kepala, hingga pinggang, akibat dosa-dosanya terhadap hukum Islam yang secara tradisi dijalankan cukup ketat di Afghanistan, sekalipun alasan yang dikemukakan adalah menjatuhkan martabat keluarga.

Seorang pegiat perempuan
dari Amnesty International yang berbasis di Badhgis melaporkan bagaimana eksekusi itu dilakukan, seperti yang dilihatnya dalam rekaman video.

“Dalam video, dia ditembak
tiga kali di depan 300-400
orang. Saudara laki-lakinya
menyaksikan eksekusi itu dan
menangis,” cerita pegiat kemanusiaan tersebut namun menolak disebutkan namanya.

Beberapa sumber, seperti dilaporkan pegiat kemanusiaan tersebut, mengatakan sedianya Halima serta sepupu, pasangan selingkuhnya akan dilempari batu hingga mati, namun urung dilakukan karena sang sepupu ternyata tidak ada disana.

“Awalnya pemuka agama
menyarankan supaya ia
dilempari batu sampai mati,
namun karena si sepupu tidak
ada, akhirnya diputuskan bahwa ia ditembak saja,”

Ditambahkan cara eksekusi itu sendiri sebenarnya tidak disetujui suami Halima yang saat itu tengah berupaya kembali dari Iran.

Sementara itu pihak kepolisian Provinsi Baratlaut
Badghis yang dimintai konfirmasi membenarkan kasus tersebut, namun upaya penangkapan pelaku gagal.

“Kami ke sana dua hari
kemudian, namun ayah dan
seluruh keluarganya sudah
pergi,” ujar kepala polisi setempat.

Kasus eksekusi ayah terhadap anak yang mengejutkan dunia itu sekaligus juga menyadarkan para pegiat kemanusiaan bahwa sekalipun sudah sebelas tahun lebih rejim Taliban tidak lagi berkuasa, Afghanistan masih saja gagal melindungi perempuan dari kesewenang-wenangan

Menurut Amnesty
International kasus yang disebutkan terjadi pada 22 April di desa Kookchaheel di provinsi Badghis itu merupakan salah satu bukti lemahnya kontrol polisi Afghanistan atas sebagian besar wilayah di negara tersebut.

“Kekerasan terhadap perempuan terus terjadi, dan
menjadi penyakit endemis di
Afghanistan dan mereka yang
bertanggung jawab sangat
jarang dibawa ke pengadilan,”
kata peneliti Amnesty International di Afghanistan
Horia Mosadiq.

“Bukan hanya kekerasan
yang dilakukan anggota
keluarga dengan dalih
menjaga martabat, namun
perempuan juga seringkali
menghadapi pelanggaran hak
asasi manusia akibat
keputusan yang dibuat oleh
sistem peradilan tradisional
dan informal,” ujar Horia.

Perempuan di Afghanistan
masih harus terus menghadapi berbagai diskriminasi yang melecehkan sekalipun rejim Taliban yang mulai berkuasa pada 1996 telah tumbang pada 2001, namun secara tradisi pelarangan perempuan untuk bersekolah ataupun mengikuti berbagai aktivitas
publik yang diyakini sebagai nafas islami masih terus dijalankan.

Tahun 2009, atas tekanan-tekanan pihak Barat, Afghanistan telah memberlakukan undang-undang anti perkawinan paksa, perkosaan, pemukulan dan kekerasan terhadap perempuan, namun berbagai kelompok HAM mengatakan undang-undang tersebut jarang dipakai.